Rabu, 19 Agustus 2009

SEPULUH PERMASALAHAN SEPUTAR PUASA

1. Siapakah yang Diwajibkan Puasa?
Puasa diwajibkan atas setiap orang Islam yang baligh, berakal, mukim (tidak
bepergian), mampu dan tidak ada penghalang-penghalangnya. Orang kafir tidak
diwajibkan puasa dan tidak sah puasa mereka. (Majalis Ramadhan hlm43-44, karya
Syaikh Muhammad bin Sholeh al Utsaimin)
2. Puasa Anak Kecil
Anak kecil tidak diwajibkan puasa sehingga baligh, akan tetapi hendaklah dilatih
puasa semampunya. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Pena
diangkat dari tiga (golongan). Dari orang tidur sampai bangun, dari anak kecil
hingga baligh dan dari orang gila sehingga sadar.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, An
Nasa-i dan dishahihkan oleh al Hakim)
Seorang anak dikatakan baligh apabila ada salah satu diantara empat perkara:
a.Keluar air mani.
b.Tumbuh rambut disekitar organ pribadi.
c. Mencapai usia lima belas tahun.
d.Apabila wanita maka telah mengalami haidh.
(Majalais Ramadhan hlm44-46, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh al Utsaimin)
3. Orang Gila atau Hilang Akal
Orang gila atau orang yang hilang akalnya tidak diwajibkan puasa dan tidak
diharuskan untuk mengqadha puasanya. Apabila seseorang kadang hilang akalnya dan
kadang sadar maka dia diwajibkan puasa ketika sadar saja. seseorang yang berpuasa
lalu pingsan sebentar di siang hari tidaklah batal puasanya. (Majalis Ramadhan hlm46-
47, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh al Utsaimin)
4. Orang Tua yang Sudah Pikun
Orang tua yang sudah pikun dan tidak lagi bisa membedakan yang baik dan buruk
tidaklah diwajibkan puasa dan tidak pula diwajibkan membayar fidyah (memberi
makan orang miskin) karena dia bukan termasuk orang yang mukallaf (dibebankan
untuk melaksanakan kewajiban), hukum orang seperti ini adalah seperti anak kecil.
Apabila kadang pikun dan kadang sadar maka diwajibkan puasa ketika sadar saja.
(Majalis Ramadhan hlm 47, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh al Utsaimin)
5. Musafir
Allah berfirman:
“Dan barangsiapa yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajib
baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari lain.
Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan kesulitan
bagimu.” (QS.Al Baqarah:185)
Hamzah bin Amr Al Aslamiy radhiallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah
Shalallahu ‘Alaihi Wassalam: “Apakah boleh aku berpuasa dalam safar?-beliau
Hamzah adalah orang yang banyak melakukan puasa-, maka Rasulullah Shalallahu
‘Alaihi Wassalam bersabda:”Puasalah jika kamu mau dan berbukalah jika kamu
mau.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata: “Aku pernah melakukan safar
bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam di bulan Ramadhan, orang yang
puasa mencela yang berbuka dan yang berbuka tidak mencela yang puasa.” (HR.
Bukhari dan Muslim)
Dari Abu Said Al Khudri radhiallahu ‘anhu: “Para sahabat berpendapat
barangsiapa yang merasa kuat lalu puasa itu adalah baik dan barangsiapa yang merasa
lemah kemudian berbuka itu juga baik.” (HR. At Tirmidzi, Al Baghawi, dengan sanad
shahih)
Yang lebih afdhal bagi musafir adalah melakukan yang paling mudah baginya
(berpuasa atau berbuka), dan jika sama saja keduanya maka yang lebih afdhal adalah
puasa karena membebaskannya dari tanggungan (hutang puasa) dan lebih
bersemanagat karena dia puasa bersama-sama manusia.
Apabila puasa itu berat baginya maka hendaklah berbuka dan tidak berpuasa
ketika safar. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Bukanlah suatu
kebajikan melakukan puasa dalam safar.” (HR. Bukhari dan Muslim)
(Majalis Ramadhan hlm 51, karya Syaikh Muhammad bin Sholeh al Utsaimin)
6. Orang Sakit
Orang sakit yang masih bisa diharapkan kesembuhannya ada tiga macam:
a.) Orang sakit yang tidak berat baginya puasa dan tidak berbahaya, maka diwajibkan
atasnya berpuasa karena tidak ada alasan baginya untuk meninggalkan puasa.
b.) Orang sakit yang berat baginya puasa akan tetapi tidak berbahaya, maka hendaklah
dia berbuka, sebagaimana firman Allah:
“Dan barangsiapa yang sakit atau atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),
maka (wajib baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada
hari-hari lain. Allah menginginkan kemudahan bagimu dan tidak menginginkan
kesulitan bagimu.” (QS.Al Baqarah:185)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Sesungguhnya Allah senang
didatangi (dikerjakan) rukhsah (keringanan) yang Dia berikan, sebagaimana
Dia membenci orang yang melakukan maksiat.” (HR. Ahmad dan Ibnu Hibban,
dg sanad shahih). Dalam suatu riwayat lain : “Sebagaimana Allah senang
diamalkannya perkara-perkara yang diwajibkan.” (HR. Ibnu Hibban, Al Bazzar,
Ath Thabrani, dg sanad shahih)
c.) Orang sakit yang berbahaya baginya puasa, maka wajib atasnya berbuka dan tidak
diperbolehkan puasa, sebagaimana firman Allah:
“Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha
Penyayang kepadamu.” (QS. An Nisaa’:29)
Dan firman-Nya:
“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri kedalam kebinasaan.” (QS.
Al Baqarah:195)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda: “Sesungguhnya dirimu
mempunyai hak atasmu.” (HR. Bukhari).
Beliau SAw bersabda pula: “Tidak boleh ada madharat (bahaya) dan tidak boleh
menimbulkan madharat.” (HR. Ibnu Majah, Ad Daruquthni, dg sanad hasan.
Lihat Jami’ul Ulum Wal Hikam, Ibnu rajab. hadits ke 32)
7. Orang yang Tidak Mampu Lagi Berpuasa
Orang yang tidak mampu lagi berpuasa seperti orang yang sudah tua dan orang
yang sakit parah dan tidak bisa lagi diharapkan kesembuhannya seperti penyakit kanker
dan semacamnya, tidak wajib atas mereka berpuasa karena mereka memang sudah
tidak mampu lagi puasa. Aka tetapi wajib atas mereka untuk mengganti puasanya
dengan memberikan makan setiap setiap harinya kepada seorang miskin. Boleh berupa
makanan pokok seperti beras sebanayk satu mud setiap harinya. (satu mud = ¼ sha’,
satu sha’ di Indonesia = 2,5 Kg. Jadi satu mud kurang lebih 625 gram).
Dan boleh pula diberikan berupa makanan yang sudah siap di makan.
sebagaimana dalam atsar, bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu berkata: “Kakek dan
nenek tua yang tidak mampu puasa harus memberi makan setiap harinya kepada
seorang miskin.” (HR. Bukhari)
Dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu : “Bahwasanya beliau lemah (tidak
mampu untuk puasa karena sudah tua) pada suatu tahun, kemudian beliau membuat
satu wadah tsarid (nama makanan) dan mengundang 30 orang miskin (untuk makna)
hingga mereka keying.” (HR. Ad daruquthni, dg sanad shahih)
8. Wanita Hamil dan Menyusui
Wanita hamil dan menyusui apabila berat bagi mereka puasa atau khawatir
terhadap anaknya maka diperbolehkan untuk tidak puasa dan menggantinya dengan
memberikan makan kepada orang miskin setiap harinya tanpa berkewajiban
mengqadha.
Diriwayatkan Ad Daruquthni dan dishahihkannya (1/207) dari Ibnu Umar
radhiallahu ‘anhu, bahwasanya beliau berkata:”Wanita hamil dan menyusui (boleh)
berbuka dan tanpa mengqadha”.
Diriwayatkan Ad Daruquthni pula dari jalan lain dengan sanad jayyid:
Bahwasanya isteri Ibnu Umar ketika sedang hamil bertanya bertanya kepadanya
(tentang puasa), lalu beliau menjawab:”Berbukalah dan berilah makan setiap harinya
satu orang miskin dan tidak usah kamu mengqadha’”.
Dari Siad bin Jubair, dari Ibnu Abbas dan Ibnu Umar berkata: “Wanita hamil dan
menyusui (boleh) berbuka dan tanpa mengqadha.” (HR. Ad Daruquthni, dg sanad
shahih. Lihat Irwa’ul Ghalil 4/17-25, karya Syaikh AL bani dan Shifat Shoum Nabi,
karya Syaikh Salim Al Hilaly dan Syaikh Ali Hasa hal 80-85).
9. Wanita Haidh dan Nifas
Wanita haidh dan nifas diharamkan untuk puasa dan tidak sah puasa mereka.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassalam bersabda tentang wanita: “Bukankah jika
haidh dia tidak shalat dan tidak puasa?” Kami katakan:”Ya”. Beliau bersabda:
“Itulah (bukti) kurang agamanya.” (HR. Muslim)
Diwajibkan atas mereka untuk mengqadha puasa. Perintah mengqadha puasa
terdapat dalam riwayat Mu’adzah, dia berkata: “Aku pernah bertanya kepada ‘Aisyah
radhiallahu anha:”Mengapa orang haidh mengqadha puasa tetapi tidak mengqadha
shalat?” ‘Aisyah radhiallahu anha balik bertanya:”Apakah engkau wanita Haruriy?”
Aku menjawab: “Aku bukan wanita Haruriy, tetapi hanya (sekedar) bertanya.” ‘Aisyah
radhiallahu anha berkata: “Kami juga haidh pada masa Nabi Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam, tetapi kami hanya diperintahkan (oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi
Wassalam) untk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Haruriy nisbat kepada harura’ (yaitu) negeri yang jaraknya 2 mil dari Kufah,
orang yang beraqidah Khawarij disebut Haruriy karena kelompok pertama dari mereka
yang memberontak kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu ada
di negeri tersebut.
10. Orang yang Perlu Berbuka Untuk Menolong Orang Lain
Adakalanya terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kebakaran, tenggelam
dan semacamnya sehingga memmerlukan orang lain untuk menolong mereka dan yang
menolong tidak akan mampu melaksanakan tugasnya apabila dalam keadaan puasa dan
ia pun harus berbuka agar kuat dan bisa melaksanakan tugasnya dengan baik, maka
orang yang menolong tersebut diperbolehkan berbuka dan bahkan diwajibkan demi
menolong orang lain dari kebinasaan. Demikian juga seseorang yang berjihad fi
sabilillah dan membutuhkan makan dan minum agar kuat diperbolehkan berbuka dan
menggantinya (qadha) pada hari yang lain. (Majalis Ramadhan hal 59-60, karya Syaikh
Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin)
Maraji’: Kitab Fiqih Ramadhan, oleh Ustadz Abdullah Sholeh Al Hadromi, penerbit
Majelis Taklim dan Dakwah Husnul Khatimah, Malang
(abuzubair.files.wordpress.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Suka atau Tidak Suka, Kasih Komentar yaaa...